Kamis, 10 Juli 2008

Menulis Cerpen

Baru-baru ini, saya membaca sebuah cerpen yang sangat bagus dan menarik. Judulnya "Cinta di Perbatasan", dimuat di majalah Annida edisi 21 tahun 2005. Nama penulisnya Herti.

Cerpen ini bercerita tentang seorang pemuda yang tinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Kisahnya diawali dengan keputusan si pemuda untuk keluar dari perusahaannya dan berwiraswasta dengan berjualan tikar tradisional. Tikar tersebut ia buat sendiri, lalu dijual di perbatasan.

Tragisnya, produknya ini tidak laku, hanya gara-gara ia berkata jujur, "Tikar ini buatan saya sendiri". Ternyata, para pembeli beranggapan bahwa tikar tersebut haruslah buatan daerah tertentu di Malaysia. Jika dibuat oleh orang Indonesia, maka dianggap tidak asli.

Si pemuda pun mencoba menjual produknya ini di Indonesia, tapi ternyata prospeknya tidak begitu cerah. ia pun kecewa dan prihatin. Ia telah bertekad untuk lebih mencintai negerinya. Tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa hal-hal yang berbau Malaysia lebih disukai oleh masyarakat Indonesia di perbatasan tersebut. Terlebih, mata uang ringgit lebih disukai daripada rupiah. Hal-hal yang berbau Indonesia hanya mereka "nikmati" saat upacara bendera di sekolah.

* * *

Ini adalah sebuah cerita berbau nasionalisme yang sangat menyentuh. Sebuah tema besar, namun disampaikan dengan cara yang amat sederhana.

Semula, saya menduga penulis cerita ini adalah penduduk yang tinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia tersebut. Dugaan ini saya percayai, karena si penulis sepertinya begitu menguasai kondisi dan fenomena masyarakat setempat.

Namun, hari Minggu kemarin (28 Agustus 2005), ketika hadir di acara FLP Bekasi, saya kaget ketika tanpa sengaja bertemu dengan si penulis cerpen ini. Ia bernama Herti, dan ternyata dia adalah penduduk Bekasi.

Saya pun bertanya, "Apakah Anda pernah tinggal di perbatasan tersebut?"

"Tidak pernah," sahutnya.

"Lalu bagaimana caranya, kok Anda sepertinya begitu mengerti tentang kondisi dan femonema masyarakat di sana?"

"Kebetulan saya penah membaca beberapa tulisan mengenai hal itu. Saya pikir, bagus juga kali ya, kalau fenomena masyarakat yang seperti ini diangkat menjadi cerpen."

Saya manggut-manggut, merasa kagum pada Herti. Setahu saya, ia masih pendatang baru di dunia penulisan fiksi. Tapi ia telah melakukan sesuatu yang mungkin jarang dilakukan oleh penulis-penulis lain: Menulis sebuah cerita berdasarkan referensi tertentu.

Biasanya, referensi digunakan oleh penulis untuk melengkapi tulisannya yang sudah ada. Artinya, referensi di sini hanya berfungsi sebagai pelengkap, untuk memperkaya tulisan. Namun Herti melakukan yang sebaliknya: menjadikan referensi sebagai sumber ide utama. Dan dia berhasil mengolahnya menjadi sebuah cerpen yang sangat menarik.

Tidak ada komentar: