
Pernahkah terlintas dalam benak anda, jika anda percaya akan keberadaannya, seperti apakah neraka itu? Orang seperti apa yang masuk ke sana? Kenapa orang masuk ke sana? Ibadah dan agama adalah salah satu bagian utama dari kehidupan bangsa kita Indonesia, jadi sejak kecil istilah surga dan neraka bukanlah hal yang asing bagi telinga kita.
Cerpen yang ditulis tahun 1956 ini sedikit banyak memberikan pandangan akan pertanyaan-pertanyaan tadi, bahkan lebih jauh lagi, menegur kita manusia yang sepertinya lupa hal terpenting dalam beragama tersebut. AA Navis sepertinya melihat kecenderungan yang mengarah pada keadaan ini dan menuangkannya dalam sebuah kisah yang tidak lekang dengan waktu.
Di sebuah desa, ada seorang kakek yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Baginya bukan suatu masalah jika ia tidak berkeluarga, hidup sendiri tanpa istri yang berada di sisinya saat suka dan duka atau keturunan untuk disayangi dan dikasihi. Menyembah dan mewartakan nama Tuhan adalah segalanya dalam hidupnya.
Ini sudah menjadi keputusan si kakek, bukan karena dorongan orang lain atau keadaan yang memaksanya demikian. Baginya memukul beduk mengingatkan orang lain untuk sembahyang, membaca ayat-ayat suci di Kitab dan memuji nama Tuhan jauh lebih penting daripada kekayaan dan rumah yang megah. Intinya, hidupnya hanya berkisar pada Tuhan, termasuk menjaga surau yang ada di desanya tersebut.
Dengan ahli AA Navis, yang bertindak sebagai narator penghubung dalam kisah ini, memunculkan tokoh Ajo Sidi. Keberadaannya di desa itu populer karena dia pintar membuat banyak kisah dengan karakter orang di desa itu menjadi inti ceritanya. Orang mungkin menyebutnya si pembual namun, karena sejak dahulu manusia selalu tertarik dengan kisah-kisah menarik, orang-orang desa tetap mendengarkan bualan Ajo Sidi tersebut. Kali ini yang menjadi tokoh cerita Ajo Sidi adalah karakter yang menggambarkan si kakek penjaga surau.
Dia mengisahkan seorang yang, seperti halnya si kakek, menyerahkan hidupnya untuk Tuhan. Tokoh ini, yang diberi nama Haji Saleh, sangat meyakini bahwa tiada tempat baginya di akhirat selain di surga. Dengan penuh percaya diri dia menunggu gilirannya untuk ikut rombongan yang masuk ke surga sambil mencibir pada mereka yang masuk ke neraka. Inti terpenting dari cerpen ini dibuat dalam bentuk dialog menarik antara manusia percaya diri dengan Tuhan sendiri. Dalam setiap percakapan kita bisa melihat dan merasakan sedikit demi sedikit Haji Saleh mulai kehilangan kepercayaan dirinya padahal apa yang ditanya oleh Tuhan hanyalah apa yang dikerjakannya selama dia hidup.
Haji Saleh dimasukkan ke neraka, bahkan di saat-saat akhir interogasi Tuhan pun dia sudah merasakan hawa panas di tubuhnya. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia yang selama hidupnya hidup untuk Tuhan bisa berada di tempat yang seharusnya, menurutnya, untuk orang-orang yang tidak beribadah dan mengenal Tuhan. Dan dia bukan satu-satunya. Merasa bingung dan tidak puas dengan pengaturan tersebut, Haji Saleh dan sekelompok orang yang berpikiran sama pun kembali menghadap Tuhan. Sekali lagi terjalin percakapan menarik dan kali ini Tuhan menjelaskan mengapa bukan surga yang layak untuk mereka tempati.
Keegoisan manusia digambarkan AA Navis sebagai hal yang membuat beberapa orang bernasib bertolak belakang dengan harapan mereka. Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja keras di dunia yang dipersiapkannya. Hidup bersama dengan orang lain dan saling membantu layaknya sesama manusia. Sayang ada orang yang menjadikan Tuhan sebagai intisari kehidupan mereka dan tiada hal lain yang penting. Bahkan mungkin saja ada orang yang rajin ibadah bukan karena kepercayaannya namun karena rasa takut masuk ke neraka, jadi dia beribadah lebih dari orang lain supaya bisa masuk ke surga. Mereka lupa inti terpenting dalam kehidupan tersebut yakni beramal di samping beribadat, dan bagaimana bisa beramal ketika mereka tidak mencari nafkah dan malah menelantarkan keluarganya demi kepentingan diri mereka sendiri di akhirat nantinya.
Cerpen ini membuat kita mempertanyakan kembali diri kita sendiri sekaligus berpikir mengapa Tuhan bersikap seperti itu, apa yang sebenarnya salah dalam pemikiran orang-orang seperti si kakek dan Haji Saleh. Ternyata Tuhan memiliki caranya sendiri dan walau kita menggunakan semua rasio yang kita anggap benar, AA Navis mengingatkan kita bahwa tidak demikian adanya.
Bagaimana dengan si kakek? Awalnya dia sangat marah dengan Ajo Sidi. Sama seperti Haji Saleh yang bertanya pada sang malaikat pengiringnya, kakek bertanya pada dirinya sendiri apakah salah menyembah Tuhan seperti yang mereka lakukan itu? Sepertinya si kakek menemukan jawaban dari semua pertanyaannya dan memilih jalan yang paling jelas untuk dilakukan.
RINGKASAN :
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
UNSUR INTRINSIK :
• Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
• Amanat
Amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini dapat dilihat dari beberapa amanat berikut :
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu.
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini
• Latar
Latar Tempat
Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat
Latar Sosial
Dari cerpen ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
• Alur (plot)
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
• Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
(a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
(b) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
(c) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
(d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
• Konflik
Konflik yang ada adalah konflik batin antara si tokoh dengan Tuhannya dan juga dengan Keluarganya.
• Titik Pengisahan / Sudut Pandang
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
• Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.
UNSUR EKSTRINSIK :
• Judul : Robohnya Surau Kami
• Penulis : Ali Akbar Navis
• Biografi Singkat Penulis :
Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan sebutan A.A. Navis lahir di Padang Panjang pada tanggal 17 November 1924.
Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932 sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei itu. Lebih dari 20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen, puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam dunia sastra Indonesia. Tiga bukunya yang diterbitkan Gramedia adalah kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami, Bertanya Kerbau pada Pedati dan Novel Saraswati.
• Ukuran : 14 x 20 cm
• Tebal : 139 halaman
• Terbit : Januari 1986
• Jilid :
• Edisi Ke :
• Jenis Cover : Soft Cover
• ISBN : 979-403-046-5; 20186046
• Kategori : Fiksi dan Sastra/Bacaan Sastra dan Puisi
• Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, PT.
• Berat Buku : 98 gram
• Dimensi (L x P) : 14 X 20
• Nilai Sosial :
Kita harus sailing membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dala cerpen tersebut karena pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.
• Nilai Moral :
Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.
• Nilai Agama :
Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
• Nilai Pendidkan :
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.
• Nilai Adat :
Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai nilai dalam masyarakat.
Cerpen yang ditulis tahun 1956 ini sedikit banyak memberikan pandangan akan pertanyaan-pertanyaan tadi, bahkan lebih jauh lagi, menegur kita manusia yang sepertinya lupa hal terpenting dalam beragama tersebut. AA Navis sepertinya melihat kecenderungan yang mengarah pada keadaan ini dan menuangkannya dalam sebuah kisah yang tidak lekang dengan waktu.
Di sebuah desa, ada seorang kakek yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Baginya bukan suatu masalah jika ia tidak berkeluarga, hidup sendiri tanpa istri yang berada di sisinya saat suka dan duka atau keturunan untuk disayangi dan dikasihi. Menyembah dan mewartakan nama Tuhan adalah segalanya dalam hidupnya.
Ini sudah menjadi keputusan si kakek, bukan karena dorongan orang lain atau keadaan yang memaksanya demikian. Baginya memukul beduk mengingatkan orang lain untuk sembahyang, membaca ayat-ayat suci di Kitab dan memuji nama Tuhan jauh lebih penting daripada kekayaan dan rumah yang megah. Intinya, hidupnya hanya berkisar pada Tuhan, termasuk menjaga surau yang ada di desanya tersebut.
Dengan ahli AA Navis, yang bertindak sebagai narator penghubung dalam kisah ini, memunculkan tokoh Ajo Sidi. Keberadaannya di desa itu populer karena dia pintar membuat banyak kisah dengan karakter orang di desa itu menjadi inti ceritanya. Orang mungkin menyebutnya si pembual namun, karena sejak dahulu manusia selalu tertarik dengan kisah-kisah menarik, orang-orang desa tetap mendengarkan bualan Ajo Sidi tersebut. Kali ini yang menjadi tokoh cerita Ajo Sidi adalah karakter yang menggambarkan si kakek penjaga surau.
Dia mengisahkan seorang yang, seperti halnya si kakek, menyerahkan hidupnya untuk Tuhan. Tokoh ini, yang diberi nama Haji Saleh, sangat meyakini bahwa tiada tempat baginya di akhirat selain di surga. Dengan penuh percaya diri dia menunggu gilirannya untuk ikut rombongan yang masuk ke surga sambil mencibir pada mereka yang masuk ke neraka. Inti terpenting dari cerpen ini dibuat dalam bentuk dialog menarik antara manusia percaya diri dengan Tuhan sendiri. Dalam setiap percakapan kita bisa melihat dan merasakan sedikit demi sedikit Haji Saleh mulai kehilangan kepercayaan dirinya padahal apa yang ditanya oleh Tuhan hanyalah apa yang dikerjakannya selama dia hidup.
Haji Saleh dimasukkan ke neraka, bahkan di saat-saat akhir interogasi Tuhan pun dia sudah merasakan hawa panas di tubuhnya. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia yang selama hidupnya hidup untuk Tuhan bisa berada di tempat yang seharusnya, menurutnya, untuk orang-orang yang tidak beribadah dan mengenal Tuhan. Dan dia bukan satu-satunya. Merasa bingung dan tidak puas dengan pengaturan tersebut, Haji Saleh dan sekelompok orang yang berpikiran sama pun kembali menghadap Tuhan. Sekali lagi terjalin percakapan menarik dan kali ini Tuhan menjelaskan mengapa bukan surga yang layak untuk mereka tempati.
Keegoisan manusia digambarkan AA Navis sebagai hal yang membuat beberapa orang bernasib bertolak belakang dengan harapan mereka. Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja keras di dunia yang dipersiapkannya. Hidup bersama dengan orang lain dan saling membantu layaknya sesama manusia. Sayang ada orang yang menjadikan Tuhan sebagai intisari kehidupan mereka dan tiada hal lain yang penting. Bahkan mungkin saja ada orang yang rajin ibadah bukan karena kepercayaannya namun karena rasa takut masuk ke neraka, jadi dia beribadah lebih dari orang lain supaya bisa masuk ke surga. Mereka lupa inti terpenting dalam kehidupan tersebut yakni beramal di samping beribadat, dan bagaimana bisa beramal ketika mereka tidak mencari nafkah dan malah menelantarkan keluarganya demi kepentingan diri mereka sendiri di akhirat nantinya.
Cerpen ini membuat kita mempertanyakan kembali diri kita sendiri sekaligus berpikir mengapa Tuhan bersikap seperti itu, apa yang sebenarnya salah dalam pemikiran orang-orang seperti si kakek dan Haji Saleh. Ternyata Tuhan memiliki caranya sendiri dan walau kita menggunakan semua rasio yang kita anggap benar, AA Navis mengingatkan kita bahwa tidak demikian adanya.
Bagaimana dengan si kakek? Awalnya dia sangat marah dengan Ajo Sidi. Sama seperti Haji Saleh yang bertanya pada sang malaikat pengiringnya, kakek bertanya pada dirinya sendiri apakah salah menyembah Tuhan seperti yang mereka lakukan itu? Sepertinya si kakek menemukan jawaban dari semua pertanyaannya dan memilih jalan yang paling jelas untuk dilakukan.
RINGKASAN :
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
UNSUR INTRINSIK :
• Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
• Amanat
Amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini dapat dilihat dari beberapa amanat berikut :
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu.
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini
• Latar
Latar Tempat
Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat
Latar Sosial
Dari cerpen ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
• Alur (plot)
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
• Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
(a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
(b) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
(c) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
(d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
• Konflik
Konflik yang ada adalah konflik batin antara si tokoh dengan Tuhannya dan juga dengan Keluarganya.
• Titik Pengisahan / Sudut Pandang
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
• Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.
UNSUR EKSTRINSIK :
• Judul : Robohnya Surau Kami
• Penulis : Ali Akbar Navis
• Biografi Singkat Penulis :
Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan sebutan A.A. Navis lahir di Padang Panjang pada tanggal 17 November 1924.
Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932 sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei itu. Lebih dari 20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen, puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam dunia sastra Indonesia. Tiga bukunya yang diterbitkan Gramedia adalah kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami, Bertanya Kerbau pada Pedati dan Novel Saraswati.
• Ukuran : 14 x 20 cm
• Tebal : 139 halaman
• Terbit : Januari 1986
• Jilid :
• Edisi Ke :
• Jenis Cover : Soft Cover
• ISBN : 979-403-046-5; 20186046
• Kategori : Fiksi dan Sastra/Bacaan Sastra dan Puisi
• Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, PT.
• Berat Buku : 98 gram
• Dimensi (L x P) : 14 X 20
• Nilai Sosial :
Kita harus sailing membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dala cerpen tersebut karena pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.
• Nilai Moral :
Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.
• Nilai Agama :
Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
• Nilai Pendidkan :
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.
• Nilai Adat :
Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai nilai dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar