
Budaya instan seringkali menggiring pendidikan untuk cenderung dibisniskan. Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan baik sekolah atau perguruan tinggi untuk memenangkan persaingan dengan cara tidak lagi berorientasi pada kualitas input dan output. Salah satunya terlihat mulai dari maraknya promosi dan iming-iming yang menggiurkan agar banyak pelamar sekolah/PT datang sampai pada praktik yang memudahkan kelulusan siswa/mahasiswa dengan cara merekayasa nilai kelulusan.
Penyimpangan etika akademik akibat budaya instan sudah lazim terjadi pada masalah rutin setiap tahun yaitu Ujian Nasional di sekolah. Kerjasama dalam tanda kutip dilakukan apik baik oleh kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, dan oknum masyarakat tertentu yang semuanya turut berperan demi kelulusan ujian nasional. Mulai dari jual beli soal ujian beserta kunci jawaban, tim guru yang mengerjakan soal kemudian memberitahu jawabannya kepada siswa sampai pada maraknya lembaga bimbingan belajar yang berlomba-lomba mencari peserta UAN. Berbagai tawaran variasi cara dan trik mengerjakan lembar jawab pada saat ujian dengan berbagai metode yang cepat dan praktis tanpa berfokus pada bagaimana siswa harus memahami isi soal seluruhnya dan menjawab dengan caranya sendiri. Tentunya hal ini sejalan dengan keinginan siswa untuk lulus ujian, orangtua tak perlu was-was mengkuatirkan kelulusan putra-putrinya, sementara pihak sekolah tak ingin dicap sebagai lembaga yang tidak becus mencetak output siswanya, serta lembaga bimbingan belajar pun ingin tetap survive dalam menjalankan roda bisnis dan menanamkan kepercayaan di benak masyarakat. Namun ada hal penting yang sering diabaikan yaitu bagaimana siswa menjalani proses pencapaian hasil belajar itu sendiri. Hal-hal seperti ini memicu para pemerhati pendidikan yang mengkritik dan mengharap perbaikan. Hadirnya Mendiknas yang baru Muhammad Nuh periode 2009-2014 diharapkan ada upaya terobosan yang jelas terhadap ujian nasional dengan mengedepankan kejujuran dan keobyektifan, jauh dari praktek kecurangan yang dilakukan baik guru dan siswa.
Penyimpangan etika akademik akibat budaya instan sudah lazim terjadi pada masalah rutin setiap tahun yaitu Ujian Nasional di sekolah. Kerjasama dalam tanda kutip dilakukan apik baik oleh kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, dan oknum masyarakat tertentu yang semuanya turut berperan demi kelulusan ujian nasional. Mulai dari jual beli soal ujian beserta kunci jawaban, tim guru yang mengerjakan soal kemudian memberitahu jawabannya kepada siswa sampai pada maraknya lembaga bimbingan belajar yang berlomba-lomba mencari peserta UAN. Berbagai tawaran variasi cara dan trik mengerjakan lembar jawab pada saat ujian dengan berbagai metode yang cepat dan praktis tanpa berfokus pada bagaimana siswa harus memahami isi soal seluruhnya dan menjawab dengan caranya sendiri. Tentunya hal ini sejalan dengan keinginan siswa untuk lulus ujian, orangtua tak perlu was-was mengkuatirkan kelulusan putra-putrinya, sementara pihak sekolah tak ingin dicap sebagai lembaga yang tidak becus mencetak output siswanya, serta lembaga bimbingan belajar pun ingin tetap survive dalam menjalankan roda bisnis dan menanamkan kepercayaan di benak masyarakat. Namun ada hal penting yang sering diabaikan yaitu bagaimana siswa menjalani proses pencapaian hasil belajar itu sendiri. Hal-hal seperti ini memicu para pemerhati pendidikan yang mengkritik dan mengharap perbaikan. Hadirnya Mendiknas yang baru Muhammad Nuh periode 2009-2014 diharapkan ada upaya terobosan yang jelas terhadap ujian nasional dengan mengedepankan kejujuran dan keobyektifan, jauh dari praktek kecurangan yang dilakukan baik guru dan siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar