Selasa, 16 Juli 2019

Membiarkan Pelajar Melanggar Aturan Sejak Dini: Jalan Menuju Karakter Permisif

Pendidikan bukan hanya tentang menyampaikan pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk karakter. Di usia pelajar—mulai dari SD hingga SMA—manusia sedang berada dalam masa krusial pembentukan sikap, nilai, dan kebiasaan yang akan terbawa hingga dewasa. Di masa ini, aturan dan disiplin bukanlah sekadar pembatas, tetapi alat pembentuk kepribadian yang bertanggung jawab.

Namun sayangnya, dalam praktiknya, tidak jarang kita sebagai orang dewasa—guru, orang tua, atau masyarakat—membiarkan atau bahkan mentoleransi pelanggaran kecil yang dilakukan oleh siswa. Kita anggap remeh karena mereka masih muda, belum tahu, atau karena takut membuat mereka merasa terkekang.

Padahal, membiarkan pelanggaran sejak dini adalah bentuk pengabaian tanggung jawab moral. Lebih dari itu, ia menjadi benih dari karakter permisif: suatu sikap di mana seseorang merasa wajar dan tidak bersalah melanggar aturan, karena tidak pernah mendapatkan konsekuensi yang tegas sejak kecil.

Apa Itu Karakter Permisif?

Karakter permisif adalah pola sikap yang menganggap pelanggaran sebagai hal biasa. Orang yang permisif tidak memiliki rasa bersalah ketika melanggar aturan, tidak peka terhadap etika, dan sering mencari pembenaran atas tindakan menyimpang.

Karakter seperti ini tidak lahir tiba-tiba. Ia terbentuk dari kebiasaan kecil yang dibiarkan terus-menerus. Dan proses ini berakar dari masa sekolah—saat anak belajar membedakan benar dan salah, boleh dan tidak boleh, tanggung jawab dan kelalaian.

Contoh-Contoh Pelanggaran Kecil yang Menumbuhkan Karakter Permisif

  1. Datang terlambat ke sekolah tanpa konsekuensi
    Jika pelajar sering terlambat dan tetap diizinkan masuk tanpa teguran atau sanksi, ia belajar bahwa disiplin waktu tidak penting. Ini bisa terbawa ke dunia kerja kelak.

  2. Menyontek saat ujian tanpa ditegur
    Ini menanamkan nilai bahwa hasil lebih penting daripada proses. Siswa belajar bahwa kejujuran bisa dikesampingkan asal tujuannya tercapai.

  3. Mengendarai motor tanpa SIM atau helm dan dibiarkan
    Ini menunjukkan bahwa melanggar hukum bisa "ditoleransi" kalau pelakunya masih pelajar. Akhirnya mereka tumbuh tanpa respek terhadap aturan lalu lintas dan hukum negara.

  4. Membawa ponsel ke kelas untuk bermain gim atau media sosial saat pelajaran berlangsung
    Bila guru tidak menegur, siswa menganggap bahwa fokus dan tata tertib kelas tidak penting. Mereka belajar bahwa aturan hanya berlaku jika diawasi.

  5. Mengabaikan tugas sekolah tanpa ada tindakan dari guru
    Ini membuat siswa merasa bahwa tanggung jawab tidak penting, dan keterlambatan atau kemalasan tidak membawa dampak apa pun.

Dampak Jangka Panjang

Ketika pelanggaran-pelanggaran kecil dibiarkan, mereka tidak hanya berhenti sebagai kebiasaan buruk, tetapi berubah menjadi karakter yang tertanam dalam diri. Siswa yang dibiasakan melanggar tanpa konsekuensi akan tumbuh menjadi dewasa yang:

  • Sulit mematuhi aturan kerja
  • Tidak menghargai sistem dan struktur sosial
  • Rentan terhadap tindakan  manipulasi
  • Tidak jujur dan tidak bertanggung jawab

Dalam skala lebih besar, ini bisa melahirkan generasi yang rapuh secara moral, dan masyarakat yang rawan akan pelanggaran hukum dan nilai-nilai etis.

Penutup: Tegas Bukan Berarti Keras

Menegakkan aturan kepada pelajar bukanlah tindakan represif. Justru, itu adalah wujud kasih sayang dan tanggung jawab pendidikan. Menegur, memberi konsekuensi, dan membimbing agar taat aturan adalah bagian dari mendidik karakter yang tangguh, disiplin, dan jujur.

Jika sejak dini kita membiasakan pelajar untuk taat aturan, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang dapat dipercaya, mampu hidup dalam tatanan sosial, dan siap menghadapi tantangan hidup dengan integritas.

Karakter kuat tidak lahir dari kelonggaran, tapi dari disiplin dan keteladanan. 

Tidak ada komentar: