WARNA
EKSISTENSIALISME DALAM “CANTIK ITU LUKA”
Oleh : Aldon Samosir, S.Pd.
Guru Bahasa
Indonesia SMA Negeri 2 Balige
Subagio Sastrowardoyo,
(1992 : 34) mengatakan bahwa pada berbagai hasil karya sastra dan filsafat
susah dipisahkan. Di dalam karya sastra yang bermutu tinggi, sastra menjadi
identik dengan filasfat. Hal ini menjadi cirri yang menonjol dalam sastra
klasik dan modern. Pada tulisan-tulisan Plato ( 427 – 324 SM) biasa disebut
karangan filsafat, tetapi dari beberapa segi dapat pula kita sebut kesusastraan
Filsafat
memang sangat dekat dengan karya sastra. Bahkan menurut Wellek (1990 : 135)
karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat.
Hubungan filsafat dengan sastra adalah berkenaan dengan muatan. Filsafat
merupakan hasil perenungan manusia untuk menemukan jati dirinya. Sedangkan sastra berfungsi mengkomunikasikan
nilai-nilai tersebut sedemikian rupa berdasarkan karakter sastra.
Dengan
demikian, jika sastra dan filsafat dipadu, maka keduanya akan mendapat keuntungan.
Sastra tidak kering dari nilai-nilai kehidupan. Objek dari filsafat adalah realitas
kehidupan yang penuh makna atau pemaknaan terhadap kehidupan itu sendiri. Sastra
adalah hasil perenungan terhadap kehidupan manusia. Dengan demikian, sastra
akan lebih berisi tidak hanya hasil khayalan tanpa bobot.Sastra akan memiliki
nilai kehidupan.yang bisa membawa kehidupan social yang baik.
Dalam
karya sastra modern Indonesia, pertalian sastra dengan filsafat sudah hal yang
lazim seperti Olenka karya Budi Darma,. Dalam kesempatan ini, penulis akan
menganalisis warna eksistensialisme dalam novel “Cantik Itu Luka” karya Eka
Kurniawan. Eksistensialisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002 : 288)
diartikan sebagai aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu
yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar. Suabagio Sastrowardoyo (1992 : 38)
mengemukakan ternyata filsuf-filsuf yang memikirkan soal hidup dan kehadiran
manusia adalah filsuf eksistensialis. Filsuf eksistensialis cenderung
mengidentikkan filsafat dengan seni sastra atau seni pada umunya.
Tokoh
Utama cerita ini adalah Dewi Ayu, anak
Aneu Stamler atau cucu Ted Stamler. Dewi Ayu adalah anak perkawinan luar nikah
dari dua bersaudara lain ibu. Namun kedua orang tua Dewi Ayu, Henri Stamler dan
Anue Stamler meninggalkan Dewi Ayu begitu saja di depan pintu rumahnya dan
mereka pergi angkat kaki ke negeri Belanda.
Di
zaman Jepang sebagian besar penduduk ditangkapi oleh Jepang, terutama yang
dianggap pro Belanda, termasuk Dewi Ayu. Ia diasingkan ke sebuah pulau kecil
yang seram dan terpencil. Pulau ini, Bloedenkamp adalah sebuah tempat yang
mengerikan dan menjijikkan. Selain dkenal angker, di sana juga tak ada makanan
disediakan . Karena itu para tawanan umumnya memakan apa yang ada di sekitar
mereka termasuk cacing, ular ataupun tikus. Kekejaman dan kehausan seksual
Jepang di Bloedenkamp telah memanggil nurani Dewi Ayu terpaksa memberikan dirinya kepada seorang tentara
Jepang untuk disetubuhi.
Dewi
Ayu sendiri, sebagaimana kenyataan di ujung Pemerintahan Kolonial Belanda,
berada dalam kesulitan sosial dan ekonomi. Setelah mengalami kegetiran bersama
penduduk di Bloedenkamp, Dewi Ayu bersama gadis-gadis lainnya dibawa diam-diam
oleh Jepang ke tempat pelacuran Mama Kalong di Halimunda. Mereka dipaksa
menjadi pelacur. Mama Kalong adalah germo yang paling terkenal dan profesional
di sana. Namun pada masa berikutnya rumah pelacuran Mama Kalong menjadi
terkenal dan identik dengan Dewi Ayu, ia menjadi selebriti di kota tersebut.
Ketenarannya menyamai nama-nama penguasa di kota tersebut. Bahkan Halimunda
sendiri menjadi identik dengan kecantikan pelacur Dewi Ayu.
Dewi
Ayu melahirkan empat anak yang tidak dikehendakinya, tiga di antaranya sangat
cantik dan diminati banyak lelaki di kota Halimunda. Ketiga putrinya yang
cantik itu adalah Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Kecantikan tiga putri itu
juga menjadi malapetaka bagi keluarganya sendiri. Karena itu, saat ia hamil
pada keempat kalinya, ia berdoa agar anaknya dialahirkan buruk rupa. Tokoh
Utama menyadari bahwa yang dia alami selama ini adalah kutukan kecantikan.
Keinginan mendapat anak buruk rupa
merupakan bentuk pemberontakannya terhadap realitas yang dialaminya yaitu
karma. Sebab kecantikan akan membawa mereka ke dalam petaka. Anaknya yang
keempat ini benar lahir dengan menjijikkan namun punya keajaiban, ia diberi
nama Cantik. Namun si buruk rupa akhirnya juga terjebak dalam perselingkuhan
dengan sepupunya, Krisan.
Alamanda
dikawini paksa oleh seorang komandan tentara, Shodanco, setelah diperkosa.
Perkwinan itu sungguh tidak dengan rasa cinta, melainkan kebencian yang begitu
bergelora. Karena itu 5 tahun perkawinan mereka tak melahirkan anak sebab
Alamanda selalu memakai celana besi dan azimat. Dari perkawinan mereka
melahirkan anak Nuraini. Adinda menikah dengan Kamerad Kliwon, seorang pemuda
genteng, tokoh politik dan terkenal di kota itu. Kamerad Kliwon adalah mantan
pacar sejati Alamanda. Perkawinan mereka melahirkan anak Krisan. Maya Dewi menikah
dengan seorang tokoh preman dan penguasa terminal, namanya Maman Gendeng.
Mereka menikah saat Maya Dewi berumur dua belas tahun tetapi baru disetubuhi
saat umur 17 tahun. Kemudian mereka dikaruniai anak, Rengganis Si Cantik.
Si
Cantik, anak Dewi Ayu keempat, si bungsu buruk rupa, hidup bersama pembantu
yang bisu, Rosinah. Ia bercinta-buta dengan Krisan setelah kematian Rengganis
Si Cantik. Si Cantik dan Krisan melahirkan seorang anak yang meninggal sebelum
diberi nama. Sebelumnya Krisan juga bercinta buta dengan anak tantenya,
Rengganis Si Cantik. Rengganis Si Cantik melahirkan juga seorang anak tak
bernama, kemudian diserahkan pada ajak-ajak liar. Krisan membunuh Rengganis Si
Cantik di tengah laut untuk menutupi perbuatan zinanya itu.
Kinkin
adalah anak penggali kuburan yang bisa berhubungan dengan roh orang mati dengan
permainan jelangkung. Ia satu kelas dengan Rengganis Si Cantik. Walaupun
penampilannya kumal dan pendiam namun diam-diam ia mencintai Rengganis Si
Cantik. Ketika Rengganis Si Cantik diketahui hamil dengan isu bahwa seekor
anjing telah memperkosanya, ia sangat kecewa. Kinkin tetap tak percaya bahwa
Anjing telah memperkosa Rengganis Si Cantik.
Oleh
karena cintanya pada Rengganis si Cantik, ia bersedia menjadi bapak anak yang dikandung Rengganis
tetapi tidak kesampaian. Setelah kematian Rengganis Si Cantik, Kinkin selalu
mencari siapa pembunuh orang yang dicintainya itu. Roh Rengganis pun tidak mau
mengatakan pembunuh dirinya, sebab ia sangat mencintai orang yang membunuhnya.
Akhirnya, lewat susah-payah ia menemukan juga pembunuh Rengganis dari roh yang
tidak dikenal. Pembunuhnya adalah Krisan, sepupunya, sekaligus kekasih yang
sangat dicintai Rengganis. Setelah itu Kinkin mencari Krisan, dan membunuhnya
di rumah Cantik si buruk rupa.
Berikut
penulis akan menguraikan beberapa warna eksistensialisme yang terkandung dalam
dalam novel “Cantik Itu Luka”.
Tak bisa dipungkiri bahwa
pembaca sedikit kesulitan memahami novel “Cantik Itu Luka”. Untuk mendapat
keseluruhan nilai dalam cerita ini, dibutuhkan lebih dari sekali untuk
membacanya. Ini bukan disebakan ketidakmampuan Eka Kurniawan bercerita, tetapi
karena kejadian-kejadian di dalam berbagai bab berbeda-beda tetapi saling
merujuk dan menjelaskan. Membaca Cantik itu luka seperti menghadapi uraian ilmu
pengetahuan yang rumit. Otak harus bekerja keras memahaminya.
Novel
ini mengemukakan potret-potret berbagai orang yang merujuk pada keadaan
Indonesia pascakolonial. Peristiwa-peristiwa yang diungkapkan Eka Kurniawan
memberi kesan seolah-olah kisahnya didasarkan pada hal-hal yang sungguh
terjadi. Sedangkan kalau kita ikuti ceritanya kita sadar bahwa dunia Dewi Ayu
hanyalah isapan jempol Eka Kurniawan karena sebenarnya cerita benar-benar
sebuah khayalan
Novel ini termasuk karya
yang bermutu tinggi karena Eka kurniawan memilki daya tangkap batin benar
tentang pengalaman dan kenyataan terhadap kehidupan. Apa yang ditampilkan Eka
Kurniawan dalam Novel “Cantik Itu Luka” merupakan tanggapan terhadap berbagai
realitas objektif yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia
tidaklah serta merta berdiri sendiri. Kehidupan merupakan proses dari hubungan
sebab akibat yang telah berlangsung dari dahulu hingga saat ini. Mati dan
hidup, sedih dan gembira, kuat dan lemah, suci dan kotor, ibu dan anak, nenek
dan cucu merupakan kenyataan hidup manusia yang terus bersama-sama dengan
kehidupan manusia itu sendiri.
Novel ini sungguh
memikat. Penyajian unsur intrinsik betul-betul didukung pengetahuan penulis
yang baik tentang Filsafat, Psikologi,
dan Sejarah. Pembaca dirangsang berpikir dan
diajak menyelami tokoh-tokohnya hingga lembar akhir cerita. Angan Eka
Kurniawan sanggup menembus kebenaran kehidupan sampai pada esensinya. Seluruh
peristiwa menangkap intipati-intipati pengalaman, kebenaran kehidupan dan dunia.
Kebenaran dan kenyataan kehidupan Dewi Ayu dan keturunanya yang menyakitkan
menjadi sebuah pesan bagi dunia bahwa setiap kehidupan manusia akan bernilai
bagi kehidupan berikutnya.
Karya
sastra lahir dari ekspresi batin dan hanya untuk kepentingan batin. Eka
Kurniawan mampu menggali ha-hal fundamental yang berkaitan dengan jiwa dan
batin manusia seperti esistensi cinta kasih Amanda dan kliwon yang tidak
berakhir seperti keinginan kedua tokoh. Tabir kehidupan terkuak melalui seorang
lelaki tua, ayah Rosinah, yang menyerahkan anak gadisnya asalkan dia dapat
tidur dengan pelacur Dewi Ayu. Lelaki tua pun bahagia mati saat bercinta dengan
Dewi Ayu.
Karena cinta, Ma Gedik
yang terpasung — karena kesetiaannya — lantas mencabuli binatang ternak, karena
itu ia dianggap gila ”sungguh-sungguh”, justru di tengah ”kegilaan” nilai-nilai
— masih bisa menyanyikan kidung-kidung cinta yang indah, yang membuat banyak
orang menangis karenanya. Nyanyian itu untuk menyambut kekasihnya, setelah 16
tahun masa penantian — dengan segala kesetiaan dan cinta — dan ia kemudian
bertemu Ma Iyang kekasihnya itu, meskipun harus berakhir tragis (35-37)
Pada bagian awal, Eka
Kurniawan menghadirkan kebangkitan Dewi Ayu setelah meninggal 21 tahun lalu.
Orang-orang kampung heboh; orang-orang dan benda-benda tunggang-langgang
ketakutan dan takjub. Ia mengacaukan cara berpikir logis pembaca. Ini merupakan
stimulus untuk memancing dan mengocok imajinasi pembaca. Apa yang diharapkan? Peristiwa ini diharapkan
menjadi pedoman dan arah bagi manusia, bahwa
pada saat manusia meninggal, segala tindak tanduknya tidak serta merta hilang
begitu saja. Eka Kurniawan secara halus menyampaikan segala sisi kehidupan
manusia yang selalu ditutu-tutupi demi nilai. Eka Kurniawan secara lugas dan
berani menelanjangi bahwa kematian manusia berkaitan dengan bagaimana cara
manusia itu menjalani kehidupan
Pada sisi lain, Eka Kurniawan
menggambarkan kuatnya cinta mengubah kepribadian manusia. Cinta
membuat Maman Gendeng yang brutal, ganas dan menyimpan dendam dan akhirnya
luluh ketika bertemu gadis mungil berlesung pipit bernama Nasiah. Seketika ia
memutuskan akan menghentikan pengembaraan gilanya, dan bermimpi hidup berumah
tangga dengan Naisah. Bahkan, ketika Maman Gendeng menghadapi Naisah untuk
mengemukakan cinta, Maman Gendeng merasakan jauh lebih mengerikan daripada
menghadapi pasukan Belanda. Cinta yang takut dan gemetar, kata orang, adalah
perlambang cinta yang sebenar-benarnya. Dan Maman mengaku terus terang,” Cinta
telah memberiku dorongan yang tak diberikan oleh apapun!” (hal 115).
Eka Kurniawan berhasil
menampilkan persingungan dengan fakta yang cukup rinci dan sekaligus mendetail.
Di sisi lain, karya tersebut memiliki kesadaran yang sangat kuat atas
keberadaannya sebagai sebuah karya fiksi, yang dengan bebas melakukan
manufer-manufer yang nyaris tak terbatas, bahkan hingga yang paling liar.
Realitas yang terjadi dalam kehidupan, sebuah ritmik dinamis yang terbentuk
lewat gerak manusianya.
Dalam novel ini, terlihat
bahwa kepercayaan terhadap hukum sebab akibat atau karma masih tetap berlaku
dalam kehidupan manusia. Melihat keseluruhan cerita bisa saja latar belakang
keluarga Dewi Ayu menjadi pemicu peristiwa-peristiwa selanjutnya. Meskipun
anak-anaknya bukan menjadi pelacur, namun kegagalan-kegagalan menjalani
kehidupan selalu hadir dalam kehidupannya.
Novel ini juga merupakan
hasil perenungan tokoh tokohnya menemukan jati diri.. Kisah dalam novel mengkomunikasikan
nilai-nilai Pemikiran kefilsafatan terasa terasa pada setiap peristiwa yang
ditampilkan Eka Kurniawan. Realitas kehidupan
penuh makna atau pemaknaan terhadap kehidupan itu sendiri.
Pengarang tampaknya
meniru model penulisan sejarah kritis, mulai dari akibat (masa kini) terus
mencari ke sebab dengan menerangkan struktur-struktur sosial-budaya yang ada di
dalamnya. Dengan demikian, seluruh bagian cerita dan tokoh menjadi satu
kesatuan yang tidak dipisahkan. Bagain
cerita yang satu akan menjadi sebab atau akibat pada bagian cerita yang lain,
sedangkan keseluruhan tokoh memainkan
peran yang spesifik dan punya karakter yang kuat
Eka Menggambarkan bahwa nilai
kehidupan masa lalu berpengaruh bagi kehidupan manusia pada masa datang. Namun
Eka memibungkus peristiwa tersebut dengan sastra, nilai-nilai itu menjadi
ringan, tanpa disadari merasuk dalam diri pembaca tanpa terasa. Pemaknaan
Cantik itu luka bukanlah apa yang terlihat oleh kasat mata, namun jauh dibalik
kata-kata Eka Kurniawan, tersimpan baik nilai-nilai yang mampu menyadarkan
pembaca dari segala perbuatan yang melanggar nilai-nilai kehidupan.
Keberanian
pengarang dalam menuangkan idenya terlihat sangat jelas pada cerita ini.
Penggunaan kata-kata yang lugas menelanjangi tokoh-tokohnya secara seksual atau
dengan mengemukakan seksualitas. Ia menukikkan kalimat hingga kita tak tahu itu
hanya fiksi ataukah satu realita sejarah.
Di luar itu semua, dengan fasih Eka berbicara
tentang berbagai fenomena yang berhubungan dengan hal-hal yang berbau gaib,
supranatural dan juga misteri, serta yang berkaitan dengan masalah kanuragan
hingga masalah penyimpangan seksual. Semua itu mampu ia lebur menjadi satu
menjadi sebuah karya yang tidak saja apik, namun sanggup mengocok imajinasi
pembaca hingga melampaui batas-batas realitas. Ia juga mampu mengupas
problematika seksualitas dan kisah percintaan dengan latar sejarah menjadi
sebuah drama yang menggugah
Karakter-karakter tokoh dalam "Cantik Itu
Luka" terasa begitu komplit dan kaya. Dalam banyak hal, mereka juga terasa
begitu hidup. Sekilas mereka memang tampak berkesan main-main, namun di dalam
upaya main-main itu mereka juga sekaligus bisa sangat serius.
Jadi, aspek filasafat menjadi tumpuan enting
bagi Eka Kurniawan untuk mencapai tema
dan isi novel “Cantik Itu Luka”. Juga misteri kejiwaan Tokoh utama Dewi
Ayu dan tindakan moral di salam eksistensialisme menjadi sumber ilham bagi Eka
Kurniawan untuk member makna yang mendalam bagi pengutaraan hidup. Kemunculan sosok
seorang preman, seorang partisan, seorang shudancho, serta seorang pelacur
kelas atas yang sekaligus seorang ibu dari sejumlah anak gadis membawa kita
menelusuri sejumlah proses pencarian jati diri dari beberapa orang anak manusia
hingga perjuangan manusia dalam upaya menegakkan harkat kemanusiaanya untuk
dapat meraih kemerdekaan dan kebebasan.
SELESAI…….!
Daftar Pustaka
Sastrowardoyo, Subagio. 1992. Sekilas Soal
Sastra dan Budaya. Penerbit Balai Pustaka : Jakarta
Depdiknas .2003. Tegak Lurus dengan Langit :
Potret Keterasingan Manusia Modern. Depdiknas : Jakarta
Depdiknas 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Penerbit Balai Pustaka : Jakarta
Kurniawan, Eka.2004. Cantik Itu Luka.
Penerbit Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Wlllek, Rene, dkk.1990. Teori Kesusastrahan
(Terjemahan Melani Budianta) Penerbit Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
IDENTITAS PENULIS
Nama : Aldon Samosir,
S.Pd.
NIP : 19711224 199801 1
001
Pangkat/ Gol. : Pembina / IVa
Nama Sekolah : SMA Negeri 2 Balige
Alamat Sekolah : Jl. Kartini Soposurung Balige
Kabupaten Toba Samosir
Provinsi Sumatera Utara 22312
Telepon/ Fax : (0632) 21385
Alamat Rumah : Jl. Kartini Soposurung Balige
Kabupaten Toba Samosir
Provinsi Sumatera Utara 22312
Handphone : 081361487096
Tidak ada komentar:
Posting Komentar