Guru Mencatat
Sebagai seorang pendidik tentu memiliki tanggung jawab sangat besar bagi tercapainya salah satu tujuan negara tercinta ini, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah proses yang sangat panjang, butuh perencanaan, kesabaran, dana besar bahkan perangkat perundang-undangan. Tugas seorang guru yaitu mendidik, suatu aktivitas moral yang bernilai tinggi dan tentu takkan ternilai secara nominal, walapun itu namanya tunjangan kerja, gaji ke-13, insentif bahkan sertifikasi. Mendidik itu pakai hati dan intuisi, bukan sekedar mentransmisi ilmu pengetahuan. Karena mendidik menggunakan perangkat yang bernama hati (qolbu), maka yang acap kali berbicara adalah suara moral, suara kebenaran, itulah kata-kata para filsuf, sufi dan nabi.
Suara kebenaran itu sifatnya transenden dan profetik, karena Tuhan mencipta hati sebagai filter kehidupan. Maka jika seseorang melakukan suatu perbuatan tercela, pasti qolbu yang terdalam akan berteriak, minimal bersuara pelan, berbisik jika yang akan (sedang) dilakukan adalah perbuatan cela, jangan dikerjakan dan mesti dihindari. Karena yang bekerja adalah hati maka setiap realita kehidupan harus dibaca dengan hati, bukan sekedar rasionalisasi apalagi argumentasi. Apapun dimensi realita kehidupan tersebut, baik sosial, budaya, agama, ekonomi, hukum maupun politik. Seorang guru fardhu hukumnya untuk membawa segala realita kehidupan tersebut ke ruang kelas dalam tiap pembelajaran bersama para murid. Tentu haruslah pembacaan yang jujur dan apa adanya minus vested interest apalagi dendam politik tertentu, terhadap sebuah fenomena.
Ketika seorang guru membawa lalu membaca setiap realita tersebut bersama para murid, maka akan muncul sebuah interpretasi yang jujur pula tentunya. Penafsiran yang tak hanya diam atau bersemayam di dalam otak mereka. Penafsiran yang butuh untuk direfleksikan bersama-sama, apa sesungguhnya yang tengah terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Sebuah kajian ontologi yang konsep dasarnya (tentu) sudah dipelajari para guru. Kemudian apa yang mesti kita lakukan menyikapi realita tersebut, bagaimana yang seharusnya dan setumpuk pertanyaan-pertanyaan aksiologi pastinya. Inilah refleksi kejujuran atas segala realita kehidupan bagi seorang guru bersama muridnya. Tanggung jawab moral untuk bersama-sama melakukan suatu aktivitas melihat, membaca dan memahami yang sedang terjadi.
Realita yang sedang terjadi saat ini adalah defisit kepercayaan rakyat terhadap negara. Padahal rakyat adalah elemen vital dan determinatif dalam sebuah negara. Tak ada sejarahnya ada sebuah negara tanpa ada rakyatnya, dengan kata lain manusia tanpa jasad. Inilah analogi yang pantas jika ingin menganggap bahwa rakyat adalah komponen utama negara. Masyarakat saat ini sudah sangat permisif, masyarakat yang informatif, terbuka akan berbagai informasi yang dibutuhkan untuk memenuhi keingintahuan mereka. Para murid sering bertanya kepada saya, “Apa sesungguhnya yang tengah terjadi saat ini?”. Semua media memberitakan kasus Gayus, kasus Century yang tak selesai, mafia hukum dan pengadilan, hukum dan keadilan yang bisa dibeli, harga sembako yang terus naik, pemerintah yang tak henti dikritik karena berbohong, korban lumpur Lapindo yang tak letih mencari keadilan, demonstrasi guru menuntut keadilan dan kesejahteraan, cerita TKI yang tak lagi dilindungi hak-haknya, anggota DPR yang lupa konstituennya, elit partai politik dengan segala tingkahnya, para pengemplang pajak sampai kepada calon presiden 2014 nanti.
Politik Absurd
Untuk menjawab setumpuk persoalan negara itu, saya berpikir panjang, menahan emosi, meminggirkan ambisi dan menjawabnya dengan hati. Masyarakat merasakan sekarang negara kita sedang lemah (jikalau tak mau dibilang gagal). Lemah karena rakyat sudah mulai merasa ditinggalkan, tidak lagi dilibatkan, dipinggirkan bahkan dilupakan. Defisit kepercayaan rakyat bukan lagi diukur oleh Pemilu dengan segala perangkatnya. Tetapi yang berkata adalah nurani terdalam, karena memang itulah yang dirasakan. Bagaimana bisa, negara sebesar ini ditelanjangi hukum dan sistem peradilannya oleh para koruptor (seperti Gayus), dipermalukan oleh para pengemplang pajak dan dikotori oleh para elit partai yang hanya berorientasi pada kekuasaan belaka. Para elit yang otaknya penuh dengan tradisi politik yang bernilai ekonomis-transaksional. Politik direduksi menjadi kegiatan transaksi, siapa mendapatkan apa dan bagaimana caranya, politik yang minus moralitas, politik yang destruktif bahkan politik yang berani menjual ayat/pasal sebuah undang-undang demi kepentingan kapital belaka. Inilah realita “politik absurd” yang tengah terjadi di negeri ini.
Realita politik absurd sedang menggurita di tengah dinamika kebangsaan dan kenegaraan kita. Politik absurd tersebut dibuktikan nyata dengan kebohongan, kemunafikan dengan segala variannya. Tak usahlah kita mendebatkan secara semantik tentang “kebohongan” atau “kemunafikan”, karena (memang) sudah tak ada lagi diksi yang pas dan pantas untuk menggambarkannya. Setelah dipikir-pikir, usaha rasional seorang Montesquieu merumuskan dan menciptakan Trias Politica untuk saat ini tidak lagi berlaku di Indonesia. Kekuasaan yang dipegang oleh lembaga-lembaga negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) sudah jatuh beralih kepada tangan-tangan bandit politik, bandit hukum dan bandit kapital. Tiga komponen kekuasaan sebagai konversi bahkan variasi baru atas Trias Politica untuk Indonesia. Bandit politik karena orientasi kekuasaan an sich dengan pendekatan ekonomis-transaksional. Bandit hukum karena telah mempermalukan hukum dan keadilan yang katanya Lex Rex. Hukum dan keadilan tak lagi menjadi raja, tapi hamba bagi para bandit-bandit. Bandit kapital karena berlomba-lomba menumpuk harta, walaupun dengan mengemplang pajak negara. Sebuah entitas kolaboratif three in one di tengah-tengah kita.
Politik absurd para bandit ini perlu putar haluan menjadi “politik profetik” bagi para elit dan penguasa. Aktivitas politik yang harus minus motif-motif materialistik. Berpolitik bukan sekedar aktivitas tentang kekuasaan, tapi jauh melampaui kekuasaan itu. Sebenarnya “politik kenabian” ini telah dicontohkan oleh founding fathers kita. Lihatlah ikhtiar politik kebangsaan seorang Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir dan J. Leimena. Walaupun antar mereka berbeda cara pandang dan bersikap, tetapi tiap ikhtiar politiknya selalu berorientasi pada rakyat dan bangsa Indonesia. Tan Malaka sebagai bapak revolusi yang teguh berprinsip untuk Indonesia merdeka. Soekarno keluar masuk penjara sebagai penyambung lidah rakyat. Hatta walaupun lembut namun tegas bersikap untuk bangsa. Natsir memperjuangkan integrasi Indonesia walaupun disudutkan penguasa. Syahrir berbadan kecil tapi bernyali besar bagi republik. J. Leimena yang tak lelah berjuang di tengah perbedaan keyakinan. Beberapa nama itu seharusnya cukup menjadi acuan perjuangan para elit dan penguasa sekarang dalam bersikap untuk bangsa dan negara.
Defisit kepercayaan rakyat tersebut mesti dipikirkan oleh para penguasa, elit dan partai politik. Telunjuk kita ini tidak hanya diarahkan kepada pemerintah (presiden-bupati), tetapi juga para anggota parlemen, penegak hukum dan para elit. Empat kelompok ini yang harus bertangungjawab secara moral untuk membenahi republik yang sedang sakit. Suara para guru hanya mengingatkan, suara para tokoh agama sekedar cambuk dari surga dan suara rakyat adalah hukum yang sebenarnya (vox populi vox dei). Sebagai seorang guru saya tak lelah untuk berusaha agar para murid kelak nanti tidak menjadi Rahwana, menjadi koruptor muda atau bahkan penjual negara. Jika mereka ditakdirkan memimpin bangsa ini ke depan, dengar dan ingatlah suara gurumu hari ini! Suara kenabian yang walaupun sudah mulai serak, tetapi akan membuatmu tidak lupa bahwa republik ini bukan hanya milikmu, tetapi milik rakyat. Maka dengarkanlah selalu suara mereka, itulah sejatinya suara Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar